BAB
I
I.
Kasus Kekerasan Sekitar Kita (Kekerasan
terhadap Istri)
Kekerasan dalam rumah tangga lebih khusus
terhadap istri banyak terjadi dimana-mana. Hal suami yang dipandang sebagai
kepala keluarga dan istri sebagai ibu rumahtangga yang menjadi pemahaman saat
ini, membuat seorang laki-laki (suami) menganggap diri sebagai penguasa dalam
keluarga, sehingga dia merasa apapun dapat dia lakukan dan semua yang ada dalam
keluarganya harus tunduk kepadanya. Hal ini dapat dilihat dalam kasus berikut:
Berasal dari kehidupan suami-istri di
Kecamatan Sonder. Seorang suami yang dianggap sebagai kepala keluarga dan
memang dirinyalah yang bekerja untuk menafkahi keluarga tersebut. Ia memiliki 3
orang anak dan 1 istri. Karena Ia berpikir bahwa dia adalah raja dalam keluarga
itu, semua anggota keluarganya diperintahkannya sesuka hati. Apabila istrinya
tidak melakukan apa yang dia katakan atau apabila istrinya keluar rumah terlalu
lama maka ia akan memarahi istrinya, kadang-kadang istrinya memberi pembelaan
dan alasan tentang hal tersebut tetapi ia (suami) lebih menekannya. Sering
apabila terdapat masalah dalam keluarga atau pertengkaran, ia memukul istrinya
sampai luka-luka. Bukan hanya itu, selain tekanan fisik ia juga sering tidak memberikan uang kepada
istrinya, uang upahan dari hasil kerjanya hanya disimpannya untuk memenuhi
kebutuhannya. Bapak ini bukanlah seorang pemabuk. Jadi memang perlakuannya
dilakukan dengan keadaan yang sadar, beda halnya dengan orang lain yang jika
melakukan kekerasan terhadap istrinya mereka banyak kali dalam keadaan mabuk.
Kekerasan yang dilakukan suami ini bukan hanya kekerasan fisik tetapi juga
kekerasan mental dan ekonomi. Tentang anak-anaknya, dia adalah seorang ayah
yang mencintai anak-anaknya, dia tidak ingin melihat anak-anaknya itu menangis,
apabila anak-anaknya itu menangis dan istrinya tidak bergegas membujuk anak itu
supaya berhenti menangis maka istrinya itu akan dimarahi bahkan dapat sampai
dipukulnya. Dapat dilihat suami ini memanjakan anak-anaknya, tetapi istrinya
selalu ditekan olehnya.
Istri ini, kadang-kadang karena dia tidak
mendapatkan uang dari suaminya, ia melakukan usaha untuk mendapatkan uang. Ia
membuat kue-kue untuk di jualnya. Dari hasil penjualannya itu dia sedikit dapat
memenuhi kebutuhannya dan hal-hal lain dalam kebutuhan keluarga yang tidak
dipikirkan oleh suaminya.
II.
Kasus Kekerasan Dalam Alkitab
Banyak juga kasus kekerasan terhadap perempuan
yang dimuat dalam Alkitab salah satu contoh kasus kekerasan dalam Alkitab yang
saya ambil yaitu dari kitab Ulangan 21:10-14.
Dalam bagian Alkitab ini memang tidak ada di
jelaskan tentang kekerasan fisik terhadap perempuan, tetapi yang saya lihat
disitu terjadi kekerasan mental dan perlakuan sesuka hati terhadap perempuan.
Pada bagian Alkitab ini menyebutkan dari
budak-budak perempuan yang dimiliki oleh bangsa Israel, salah satunya
dapat diambil sebagai istri. Memang yang di intikan disini adalah mengenai
pembebasan budak, tetapi yang saya lihat disini yaitu perlakuan yang senonoh
atau semaunya terhadap perempuan. Apalagi pada ayat yang ke-14 (Apabila engkau tidak suka lagi kepadanya,
maka haruslah engkau membiarkan dia pergi sesuka hatinya) yang seakan-akan
menunjukan perempuan itu dipakai sesuai keinginan laki-laki, apabila laki-laki
(suami) tidak menyukainya lagi, ia dapat membiarkan perempuan itu pergi.
Ada 2 hal yang dilihat disini sebagai
kekerasan: pertama, perempuan yang digunakan sebagai budak; dan yang kedua,
perempuan yang setelah dijadikan istri apabila sudah tidak disukainya lagi, dibiarkan
saja. 2 hal ini mungkin saat itu telah menjadi suatu kebudayaan dalam bangsa
Israel, sehingga hal seperti ini menjadi sesuatu yang biasa-biasa saja dalam
konteks waktu saat itu.
BAB
II
Pandangan
Teologi Feminis
Secara
teologis, perempuan dan laki-laki diciptakan semartabat, sebagai manusia yang
se-"citra" dengan Allah. Namun, tidak bisa dipungkiri, dalam realitas
sosial-kultural-agama, antara keduanya sering terjadi ketidakadilan yang melahirkan
kekerasan, terutama terhadap perempuan. Isu perbedaan jender yang menguasai
realitas sosial kultural adalah bukti. Bahkan, pembedaan telah merugikan
perempuan atas kondisi dan posisinya, baik di kehidupan sosial, politik,
ekonomi, dan budaya.
Di masyarakat,
kita kerap menyaksikan kekerasan terhadap perempuan dengan berbagai manifestasinya.
Kekerasan fisik, emosional, psikologi, entah secara domestik (dalam rumah) maupun
publik (dilakukan oleh masyarakat, agama, media massa, kekuatan ekonomi, politik,
dan negara) kerap menjadi tontonan gratis yang membuat hati ini teriris sedih
dan perih.
Menimbang
kaitan antara perempuan dan agama, akhir-akhir ini kita melihat perubahan
paradigma. Paradigma lama cenderung mengidentisir agama sebagai salah satu sumber
kekerasan terhadap perempuan. Agama dituduh sebagai biang keladi lahirnya
kekerasan, penindasan, dan ketidakadilan terhadap perempuan. Kaum agamawan
dinilai telah menyalahtafsirkan doktrin, ajaran, bahkan teks-teks kitab suci
yang meminggirkan peran perempuan dalam agama. Mengapa perempuan (Katolik dan
Islam) tidak dapat menjadi imam adalah pertanyaan dasar yang sering menggema.
Dalam perspektif biblis kerap ditengarai, perempuan diletakkan dalam posisi
subordinasi terhadap suami, sehingga Paulus menasihati, "Hai istri,
tunduklah kepada suamimu seperti kepada Tuhan, karena suami adalah kepala
istri..." (Efesus 5:22). Tetapi juga Paulus dalam suratnya kepada jemaat
di Korintus, ia mempertahankan ajaran Yesus bahwa dalam pernikahan suami dan
istri merupakan mitra sejajar dengan hak dan kewajiban yang sama (Markus
10:1-12). Istri tidak berkuasa atas tubuhnya sendiri, tetapi suaminya, demikian
pula suami tidak berkuasa atas tubuhnya sendiri, tetapi istrinya (I Korintus
7:4).
Pandangan
teologis Abrahamic religions memiliki kisah tentang Hawa (perempuan) yang
"dituduh" sebagai sumber "dosa asal" karena terbujuk iblis
dengan memetik dan makan buah terlarang, danmemberikannya kepada Adam.
Sementara kalangan menganggap kisah ini sebagai peminggiran perempuan. Bahkan,
sementara pihak menafsirkan bahwa tradisi Kristiani telah mengembangkan
kebencian dan kecurigaan pada wanita dalam "doktrin dosa asal"-nya.
Yang
sebanarnya yang menjadi pemikiran kita yaitu manusia (laki-laki juga perempuan)
yang telah diciptakan Allah saat dunia dibuat (Kejadian 1:1-2:4a), keduanya
adalah ciptaan yang sama, Allah merancangkan model manusia menurut gambar dan
rupa-Nya sendiri (Kejadian 1:26). Perbedaan laki-laki dan perempuan dalam jender
seharusnya dapat memberikan penghayatan bagi manusia terhadap persekutuan yang
dinamis menurut gambar Allah. Tujuan Allah menciptakan perempuan dalam
“Kejadian 2” bukan dengan maksud agar perempuan sebagai penolong laki-laki atau
sebagai pelengkap tetapi agar manusia (laki-laki) tidak hidup seorang diri, tapi
hidup dalam hubungan yang sederajat dengan sesamanya (perempuan) yang berbeda
dengan Allah dan juga berbeda dengan makhluk-makhluk yang dinamai mereka.
Secara
khusus, teologi feminis menanggapi masalah kemiskinan dalam kaitannya dengan
ketimpangan jender, diskriminasi dan penindasan terhadap perempuan. Arus dasar
yang diperjuangkan adalah membela perempuan yang ditindas, membongkar patriarki
dalam masyarakat, agama, dan keluarga dengan segala ketidakadilan yang
menyertainya. Pada titik inilah agama memperjuangkan martabat perempuan dalam
mengalami kekerasan dan ketertindasan bersama para teolog feminis. Dalam
konteks inilah perubahan paradigma terjadi. Sebelumnya, perempuan menjadi
"obyek" teologi. Kini, banyak perempuan menjadi "subyek"
teologi.
Allah menciptakan langit dan bumi serta isinya
adalah suatu peristiwa yang sangat spektakuler dalam kehidupan di dunia ini.
Segala sesuatu yang diciptakan oleh Allah adalah bagian-bagian yang tak dapat
dinilai dengan apapun. Allah menciptakan segala sesuatu dengan cara yang
sempurna dan hasil yang sempurna, khususnya jika kita berbicara mengenai
manusia.
Manusia adalah ciptaan Tuhan yang paling mulia
dibandingkan dengan ciptaan-ciptaan Allah yang lainnya. Allah menciptakan
manusia menurut gambar dan rupa Allah dan berkuasa atas ciptaan yang lainnya
serta dipercayakan untuk memelihara bumi. Manusia diciptakan Allah dengan suatu
keiistimewaan dari ciptaan-ciptaan yang lainnya, yaitu manusia memiliki pikiran
dan akal budi.
Manusia ditempatkan di taman Eden untuk mengusahakan
dan memelihara taman itu, tentunya disertai dengan perintah-perintah yang Dia
tetapkan kepada manusia. Namun, manusia mengkhianati kepercayaan yang diberikan
Allah kepada mereka dan jatuh ke dalam dosa.
Tuhan tidak pernah mengatakan, bahwa laki-laki
lebih penting dari perempuan atau pun sebaliknya perempuan lebih penting dari
laki-laki, karena di hadapan Tuhan, laki-laki dan perempuan adalah sama, yaitu
ciptaan-Nya. Namun, sejak zaman dahulu, telah berkembang pola pikir yang
disesuaikan dengan budaya patriakhat, yaitu laki-laki yang menjadi tolak ukur
dan dianggap lebih tinggi derajatnya daripada perempuan. Berdasarkan budaya
tersebut, sering terjadi kekerasan-kekerasan terhadap perempuan yang sangat
merugikan. Perempuan yang banyak di jumpai dalam cerita-cerita di Perjanjian
Lama yang dipakai sebagai budak dan juga perempuan-perempuan yang menerima
perlakuan yang semaunya dari laki-laki, menjadi budaya yang tidak salah pada
waktu itu.
Zaman sekarang ini, ternyata belum lepas dari
cara pandang seperti itu, sehingga terjadi kekerasan terhadap perempuan. Salah
satu kasus kekerasan yang terjadi pada perempuan adalah kekerasan terhadap
istri, baik itu kekerasan fisik, kekerasan mental dan juga kekerasan ekonomi.
Pada bagian sebelumnya telah di uraikan contoh kasus kekerasan terhadap istri
yang terjadi di Sonder.
BAB
III
Harapan Dan
Saran
Kasus kekerasan terhadap perempuan sudah
begitu lama terpelihara dan membudaya dalam kehidupan manusia. Penyelewengan
terhadap hak-hak perempuan selalu terjadi, deskriminasi-deskriminasi dari kaum
laki-laki merajarela. Karena itu teologi
feminis hadir untuk membawa paradigma baru tentang perempuan dan bagaimana
pandangan Alkitab tentang perempuan.
Dengan adanya teologi feminis ini diharapkan
dapat mengubah cara berpikir manusia tentang perempuan, lebih khusus pandangan
perempuan tentang dirinya dan pandangan laki-laki tentang perempuan yang
didasarkan dari pandangan Alkitab tentang perempuan. Teologi Feminis dapat
dipandang sebagai usaha kontrabudaya, budaya patriaki yang menganggap laki-laki
adalah lebih tinggi dari perempuan. Dan perempuan dikuasai oleh laki-laki.
Saran saya dengan peristiwa yang terjadi
(mengacu pada contoh kasus diatas) adalah: tentunya sepasang suami dan istri di
satukan oleh Tuhan untuk menjalani kehidupan bersama di dunia, maka haruslah
kita saling memperhatikan kebutuhan satu sama lain dan saling melengkapi antara
suami dan istri. Perbedaan pendapat memang kadang kita jumpai, tetapi alangkah
baiknya jika dihadapi secara bersama-sama. Dan status laki-laki sebagai kepala
keluarga dan perempuan sebagai ibu rumah tangga membedakan tugas dan hak
masing-masing dalam keluarga, jadi bukankah lebih baik jika pemikiran seperti
itu dihilangkan dan menganggap suami dan istri sama-sama sebagai kepala
keluarga dan ibu rumahtangga. Karena suami dan istri adalah satu kesatuan yang
tidak boleh dipisahkan (Mrk 10:6-8) dengan maksud dan tugas yang sama dari
Allah kepada mereka (Kejadian 1-2), tapi suami tidak seharusnya menguasai istri
dengan berkuasa atasnya (I Korintus 7:4), juga sebaliknya.
Istri bukanlah seorang yang dapat digunakan
suami sebagai alat pelengkap dan pemenuhan kebutuhan, jika tidak disukai lagi
dapat dibiarkan saja, seperti pada bagian Alkitab yang diangkat sebagai contoh
kasus di makalah ini. Memiliki Istri adalah salah satu anugerah yang diberikan kepada seorang laki-laki untuk
disyukuri dan dijaga, dan bersama-sama dengan dia kita memperjuangkan
kehidupan.
Untuk mengubah cara berpikir yang sudah sejak
lama terbentuk memang sangat sulit, tetapi haruslah kita melakukannya. Salah
satu contoh upaya kita adalah lewat khotbah, dengan memberikan pengertian yang
jelas ketika kita membawakan khotbah dalam ibadah-ibadah yang membahas tentang
derajat manusia antara laki-laki dan perempuan adalah sama, juga dipercayakan
Tuhan dengan tugas yang sama pula maka hal itu mungkin dapat mengubah cara
berpikir dari jemaat sekarang ini. Contoh yang lain juga adalah dengan membuat
penyuluhan tentang perempuan, dengan membahas perempuan sebagai topiknya dan
memberikan pimikiran-pemikiran yang jelas kepada jemaat mungkin hal ini akan
berhasil, dalam penyuluhan ini sangat baik jika seluruh anggota jemaat dapat
mengikutinya. Selain contoh tersebut, menjadi salah satu upaya juga yaitu dalam
katekisasi-katekisasi, baik itu katekisasi sidi jemaat, katekisasi baptisan,
apa terlebih dalam katekisasi pernikahan Pendeta sekiranya membawa pengajaran
tentang perempuan dan kedudukannya sebagai ciptaan Allah yang sama dan
sederajat dengan laki-laki. Contoh yang terakhir yaitu lewat diri kita
masing-masing, ketika kita memperlakukan perempuan atau kita sebagai perempuan
berlaku dan membawa pola pikir yang baru tentang perempuan yang adalah ciptaan
yang sama dengan laki-laki dan juga mempunyai kemampuan dan tugas yang sama
juga dengan laki-laki, maka pola pikir yang lama atau yang telah membudaya
dapat kita ubah bersama-sama.
Dan yang menjadi harapan saya: alangkah
indahnya dunia kita, jika perempuan yang merupakan mayoritas makhluk Tuhan saat
ini menjadi pelopor antikekerasan di tengah kehidupan dengan hati, kerahiman,
dan kasih sayang mereka.
Literatur:
-
Marie C, Barth. Hati Allah Bagaikan Hati Seorang Ibu. BPK Gunung Mulia. Jakarta:
2006.
-
http: www.kompas.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar