Senin, 14 Oktober 2013

Teologi Feminis, Kekerasan terhadap perempuan



BAB I
I.                    Kasus Kekerasan Sekitar Kita (Kekerasan terhadap Istri)
Kekerasan dalam rumah tangga lebih khusus terhadap istri banyak terjadi dimana-mana. Hal suami yang dipandang sebagai kepala keluarga dan istri sebagai ibu rumahtangga yang menjadi pemahaman saat ini, membuat seorang laki-laki (suami) menganggap diri sebagai penguasa dalam keluarga, sehingga dia merasa apapun dapat dia lakukan dan semua yang ada dalam keluarganya harus tunduk kepadanya. Hal ini dapat dilihat dalam kasus berikut:
Berasal dari kehidupan suami-istri di Kecamatan Sonder. Seorang suami yang dianggap sebagai kepala keluarga dan memang dirinyalah yang bekerja untuk menafkahi keluarga tersebut. Ia memiliki 3 orang anak dan 1 istri. Karena Ia berpikir bahwa dia adalah raja dalam keluarga itu, semua anggota keluarganya diperintahkannya sesuka hati. Apabila istrinya tidak melakukan apa yang dia katakan atau apabila istrinya keluar rumah terlalu lama maka ia akan memarahi istrinya, kadang-kadang istrinya memberi pembelaan dan alasan tentang hal tersebut tetapi ia (suami) lebih menekannya. Sering apabila terdapat masalah dalam keluarga atau pertengkaran, ia memukul istrinya sampai luka-luka. Bukan hanya itu, selain tekanan fisik  ia juga sering tidak memberikan uang kepada istrinya, uang upahan dari hasil kerjanya hanya disimpannya untuk memenuhi kebutuhannya. Bapak ini bukanlah seorang pemabuk. Jadi memang perlakuannya dilakukan dengan keadaan yang sadar, beda halnya dengan orang lain yang jika melakukan kekerasan terhadap istrinya mereka banyak kali dalam keadaan mabuk. Kekerasan yang dilakukan suami ini bukan hanya kekerasan fisik tetapi juga kekerasan mental dan ekonomi. Tentang anak-anaknya, dia adalah seorang ayah yang mencintai anak-anaknya, dia tidak ingin melihat anak-anaknya itu menangis, apabila anak-anaknya itu menangis dan istrinya tidak bergegas membujuk anak itu supaya berhenti menangis maka istrinya itu akan dimarahi bahkan dapat sampai dipukulnya. Dapat dilihat suami ini memanjakan anak-anaknya, tetapi istrinya selalu ditekan olehnya.
Istri ini, kadang-kadang karena dia tidak mendapatkan uang dari suaminya, ia melakukan usaha untuk mendapatkan uang. Ia membuat kue-kue untuk di jualnya. Dari hasil penjualannya itu dia sedikit dapat memenuhi kebutuhannya dan hal-hal lain dalam kebutuhan keluarga yang tidak dipikirkan oleh suaminya.
II.                  Kasus Kekerasan Dalam Alkitab
Banyak juga kasus kekerasan terhadap perempuan yang dimuat dalam Alkitab salah satu contoh kasus kekerasan dalam Alkitab yang saya ambil yaitu dari kitab Ulangan 21:10-14.
Dalam bagian Alkitab ini memang tidak ada di jelaskan tentang kekerasan fisik terhadap perempuan, tetapi yang saya lihat disitu terjadi kekerasan mental dan perlakuan sesuka hati terhadap perempuan. Pada bagian Alkitab ini menyebutkan dari  budak-budak perempuan yang dimiliki oleh bangsa Israel, salah satunya dapat diambil sebagai istri. Memang yang di intikan disini adalah mengenai pembebasan budak, tetapi yang saya lihat disini yaitu perlakuan yang senonoh atau semaunya terhadap perempuan. Apalagi pada ayat yang ke-14 (Apabila engkau tidak suka lagi kepadanya, maka haruslah engkau membiarkan dia pergi sesuka hatinya) yang seakan-akan menunjukan perempuan itu dipakai sesuai keinginan laki-laki, apabila laki-laki (suami) tidak menyukainya lagi, ia dapat membiarkan perempuan itu pergi.
Ada 2 hal yang dilihat disini sebagai kekerasan: pertama, perempuan yang digunakan sebagai budak; dan yang kedua, perempuan yang setelah dijadikan istri apabila sudah tidak disukainya lagi, dibiarkan saja. 2 hal ini mungkin saat itu telah menjadi suatu kebudayaan dalam bangsa Israel, sehingga hal seperti ini menjadi sesuatu yang biasa-biasa saja dalam konteks waktu saat itu.




BAB II
Pandangan Teologi Feminis
Secara teologis, perempuan dan laki-laki diciptakan semartabat, sebagai manusia yang se-"citra" dengan Allah. Namun, tidak bisa dipungkiri, dalam realitas sosial-kultural-agama, antara keduanya sering terjadi ketidakadilan yang melahirkan kekerasan, terutama terhadap perempuan. Isu perbedaan jender yang menguasai realitas sosial kultural adalah bukti. Bahkan, pembedaan telah merugikan perempuan atas kondisi dan posisinya, baik di kehidupan sosial, politik, ekonomi, dan budaya.
Di masyarakat, kita kerap menyaksikan kekerasan terhadap perempuan dengan berbagai manifestasinya. Kekerasan fisik, emosional, psikologi, entah secara domestik (dalam rumah) maupun publik (dilakukan oleh masyarakat, agama, media massa, kekuatan ekonomi, politik, dan negara) kerap menjadi tontonan gratis yang membuat hati ini teriris sedih dan perih.
Menimbang kaitan antara perempuan dan agama, akhir-akhir ini kita melihat perubahan paradigma. Paradigma lama cenderung mengidentisir agama sebagai salah satu sumber kekerasan terhadap perempuan. Agama dituduh sebagai biang keladi lahirnya kekerasan, penindasan, dan ketidakadilan terhadap perempuan. Kaum agamawan dinilai telah menyalahtafsirkan doktrin, ajaran, bahkan teks-teks kitab suci yang meminggirkan peran perempuan dalam agama. Mengapa perempuan (Katolik dan Islam) tidak dapat menjadi imam adalah pertanyaan dasar yang sering menggema. Dalam perspektif biblis kerap ditengarai, perempuan diletakkan dalam posisi subordinasi terhadap suami, sehingga Paulus menasihati, "Hai istri, tunduklah kepada suamimu seperti kepada Tuhan, karena suami adalah kepala istri..." (Efesus 5:22). Tetapi juga Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Korintus, ia mempertahankan ajaran Yesus bahwa dalam pernikahan suami dan istri merupakan mitra sejajar dengan hak dan kewajiban yang sama (Markus 10:1-12). Istri tidak berkuasa atas tubuhnya sendiri, tetapi suaminya, demikian pula suami tidak berkuasa atas tubuhnya sendiri, tetapi istrinya (I Korintus 7:4).
Pandangan teologis Abrahamic religions memiliki kisah tentang Hawa (perempuan) yang "dituduh" sebagai sumber "dosa asal" karena terbujuk iblis dengan memetik dan makan buah terlarang, danmemberikannya kepada Adam. Sementara kalangan menganggap kisah ini sebagai peminggiran perempuan. Bahkan, sementara pihak menafsirkan bahwa tradisi Kristiani telah mengembangkan kebencian dan kecurigaan pada wanita dalam "doktrin dosa asal"-nya.
Yang sebanarnya yang menjadi pemikiran kita yaitu manusia (laki-laki juga perempuan) yang telah diciptakan Allah saat dunia dibuat (Kejadian 1:1-2:4a), keduanya adalah ciptaan yang sama, Allah merancangkan model manusia menurut gambar dan rupa-Nya sendiri (Kejadian 1:26). Perbedaan laki-laki dan perempuan dalam jender seharusnya dapat memberikan penghayatan bagi manusia terhadap persekutuan yang dinamis menurut gambar Allah. Tujuan Allah menciptakan perempuan dalam “Kejadian 2” bukan dengan maksud agar perempuan sebagai penolong laki-laki atau sebagai pelengkap tetapi agar manusia (laki-laki) tidak hidup seorang diri, tapi hidup dalam hubungan yang sederajat dengan sesamanya (perempuan) yang berbeda dengan Allah dan juga berbeda dengan makhluk-makhluk yang dinamai mereka.
Secara khusus, teologi feminis menanggapi masalah kemiskinan dalam kaitannya dengan ketimpangan jender, diskriminasi dan penindasan terhadap perempuan. Arus dasar yang diperjuangkan adalah membela perempuan yang ditindas, membongkar patriarki dalam masyarakat, agama, dan keluarga dengan segala ketidakadilan yang menyertainya. Pada titik inilah agama memperjuangkan martabat perempuan dalam mengalami kekerasan dan ketertindasan bersama para teolog feminis. Dalam konteks inilah perubahan paradigma terjadi. Sebelumnya, perempuan menjadi "obyek" teologi. Kini, banyak perempuan menjadi "subyek" teologi.
Allah menciptakan langit dan bumi serta isinya adalah suatu peristiwa yang sangat spektakuler dalam kehidupan di dunia ini. Segala sesuatu yang diciptakan oleh Allah adalah bagian-bagian yang tak dapat dinilai dengan apapun. Allah menciptakan segala sesuatu dengan cara yang sempurna dan hasil yang sempurna, khususnya jika kita berbicara mengenai manusia.
Manusia adalah ciptaan Tuhan yang paling mulia dibandingkan dengan ciptaan-ciptaan Allah yang lainnya. Allah menciptakan manusia menurut gambar dan rupa Allah dan berkuasa atas ciptaan yang lainnya serta dipercayakan untuk memelihara bumi. Manusia diciptakan Allah dengan suatu keiistimewaan dari ciptaan-ciptaan yang lainnya, yaitu manusia memiliki pikiran dan akal budi.
Manusia ditempatkan di taman Eden untuk mengusahakan dan memelihara taman itu, tentunya disertai dengan perintah-perintah yang Dia tetapkan kepada manusia. Namun, manusia mengkhianati kepercayaan yang diberikan Allah kepada mereka dan jatuh ke dalam dosa.
Tuhan tidak pernah mengatakan, bahwa laki-laki lebih penting dari perempuan atau pun sebaliknya perempuan lebih penting dari laki-laki, karena di hadapan Tuhan, laki-laki dan perempuan adalah sama, yaitu ciptaan-Nya. Namun, sejak zaman dahulu, telah berkembang pola pikir yang disesuaikan dengan budaya patriakhat, yaitu laki-laki yang menjadi tolak ukur dan dianggap lebih tinggi derajatnya daripada perempuan. Berdasarkan budaya tersebut, sering terjadi kekerasan-kekerasan terhadap perempuan yang sangat merugikan. Perempuan yang banyak di jumpai dalam cerita-cerita di Perjanjian Lama yang dipakai sebagai budak dan juga perempuan-perempuan yang menerima perlakuan yang semaunya dari laki-laki, menjadi budaya yang tidak salah pada waktu itu.
Zaman sekarang ini, ternyata belum lepas dari cara pandang seperti itu, sehingga terjadi kekerasan terhadap perempuan. Salah satu kasus kekerasan yang terjadi pada perempuan adalah kekerasan terhadap istri, baik itu kekerasan fisik, kekerasan mental dan juga kekerasan ekonomi. Pada bagian sebelumnya telah di uraikan contoh kasus kekerasan terhadap istri yang terjadi di Sonder.



BAB III
Harapan Dan Saran
Kasus kekerasan terhadap perempuan sudah begitu lama terpelihara dan membudaya dalam kehidupan manusia. Penyelewengan terhadap hak-hak perempuan selalu terjadi, deskriminasi-deskriminasi dari kaum laki-laki merajarela.  Karena itu teologi feminis hadir untuk membawa paradigma baru tentang perempuan dan bagaimana pandangan Alkitab tentang perempuan.
Dengan adanya teologi feminis ini diharapkan dapat mengubah cara berpikir manusia tentang perempuan, lebih khusus pandangan perempuan tentang dirinya dan pandangan laki-laki tentang perempuan yang didasarkan dari pandangan Alkitab tentang perempuan. Teologi Feminis dapat dipandang sebagai usaha kontrabudaya, budaya patriaki yang menganggap laki-laki adalah lebih tinggi dari perempuan. Dan perempuan dikuasai oleh laki-laki.
Saran saya dengan peristiwa yang terjadi (mengacu pada contoh kasus diatas) adalah: tentunya sepasang suami dan istri di satukan oleh Tuhan untuk menjalani kehidupan bersama di dunia, maka haruslah kita saling memperhatikan kebutuhan satu sama lain dan saling melengkapi antara suami dan istri. Perbedaan pendapat memang kadang kita jumpai, tetapi alangkah baiknya jika dihadapi secara bersama-sama. Dan status laki-laki sebagai kepala keluarga dan perempuan sebagai ibu rumah tangga membedakan tugas dan hak masing-masing dalam keluarga, jadi bukankah lebih baik jika pemikiran seperti itu dihilangkan dan menganggap suami dan istri sama-sama sebagai kepala keluarga dan ibu rumahtangga. Karena suami dan istri adalah satu kesatuan yang tidak boleh dipisahkan (Mrk 10:6-8) dengan maksud dan tugas yang sama dari Allah kepada mereka (Kejadian 1-2), tapi suami tidak seharusnya menguasai istri dengan berkuasa atasnya (I Korintus 7:4), juga sebaliknya.
Istri bukanlah seorang yang dapat digunakan suami sebagai alat pelengkap dan pemenuhan kebutuhan, jika tidak disukai lagi dapat dibiarkan saja, seperti pada bagian Alkitab yang diangkat sebagai contoh kasus di makalah ini. Memiliki Istri adalah salah satu anugerah  yang diberikan kepada seorang laki-laki untuk disyukuri dan dijaga, dan bersama-sama dengan dia kita memperjuangkan kehidupan.
Untuk mengubah cara berpikir yang sudah sejak lama terbentuk memang sangat sulit, tetapi haruslah kita melakukannya. Salah satu contoh upaya kita adalah lewat khotbah, dengan memberikan pengertian yang jelas ketika kita membawakan khotbah dalam ibadah-ibadah yang membahas tentang derajat manusia antara laki-laki dan perempuan adalah sama, juga dipercayakan Tuhan dengan tugas yang sama pula maka hal itu mungkin dapat mengubah cara berpikir dari jemaat sekarang ini. Contoh yang lain juga adalah dengan membuat penyuluhan tentang perempuan, dengan membahas perempuan sebagai topiknya dan memberikan pimikiran-pemikiran yang jelas kepada jemaat mungkin hal ini akan berhasil, dalam penyuluhan ini sangat baik jika seluruh anggota jemaat dapat mengikutinya. Selain contoh tersebut, menjadi salah satu upaya juga yaitu dalam katekisasi-katekisasi, baik itu katekisasi sidi jemaat, katekisasi baptisan, apa terlebih dalam katekisasi pernikahan Pendeta sekiranya membawa pengajaran tentang perempuan dan kedudukannya sebagai ciptaan Allah yang sama dan sederajat dengan laki-laki. Contoh yang terakhir yaitu lewat diri kita masing-masing, ketika kita memperlakukan perempuan atau kita sebagai perempuan berlaku dan membawa pola pikir yang baru tentang perempuan yang adalah ciptaan yang sama dengan laki-laki dan juga mempunyai kemampuan dan tugas yang sama juga dengan laki-laki, maka pola pikir yang lama atau yang telah membudaya dapat kita ubah bersama-sama.
Dan yang menjadi harapan saya: alangkah indahnya dunia kita, jika perempuan yang merupakan mayoritas makhluk Tuhan saat ini menjadi pelopor antikekerasan di tengah kehidupan dengan hati, kerahiman, dan kasih sayang mereka.






Literatur:
-          Marie C, Barth. Hati Allah Bagaikan Hati Seorang Ibu. BPK Gunung Mulia. Jakarta: 2006.
-          http: www.kompas.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar