Senin, 14 Oktober 2013

Tafsiran Ayub 32:1-22



AYUB 32:1-22

LATAR BELAKANG KITAB
1.                  Penulis
Kitab ini tidak menyebut nama penulis. Pengarang Kitab Ayub bersembunyi tanpa nama di belakang karyanya. Namun dilihat dari isi kitab ini, penulis menguasai kebudayaan dan pengetahuan secara luas dan sangat terampil di bidang sastra. Rupa-rupanya cerita mengenai Ayub adalah suatu cerita yang kuno, kemudian seorang penulis memakai cerita ini untuk menjelaskan atau menyampaikan pikiran-pikirannya. Menurut Blommendaal, Ayub yang terdiri dari empat puluh dua pasal, ternyata bagian aslinya hanya pada pasal 1 dan pasal 2 dan pasal 42:7-17; sedangkan selebihnya adalah tambahan, yaitu pasal 3-42:6. Begitu juga dengan LaSor yang berpendapat demikian bahwa bagian pembuka dan penutup berasal dari zaman kuno. Pasal 3-42:6 bisa saja ditambahkan oleh seorang penyair Yahudi di masa yang kemudian. LaSor juga berpendapat bahwa yang juga menulis kitab ini ialah seorang Israel. Ini dapat dibandingkan dengan pandangan penulis tentang kuasa Allah, seruannya akan keadilan Allah dan etikanya yang tak dapat disalahkan (Ayub 31:1-40).
Namun yang menjadi pertanyaannya siapakah orang Israel yang menulis kitab ini? Jika dilihat lebih jauh maka tentunya orang Israel yang dimaksudkan disini adalah orang-orang bijak. Menurut Etienne Charpentier orang bijak ialah orang yang berusaha untuk menjalani hidup dengan baik dan menemukan dalam keberadaannya dan keberadaan dunia hal-hal yang memperkaya kehidupan dan hal-hal yang menyebabkan kematian. Orang bijak merenungkan pertanyaan-pertanyaan manusia yang besar: hidup, mati, kasih, penderitaan, kejahatan. Apakah keberadaan manusia mempunyai arti? Arti apakah itu? Setiap orang mempunyai falsafahnya sendiri sesuai dengan tingkatannya. Orang-orang bijak di Israel bisa saja seorang Raja, karena ia yang bertanggung jawab untuk memerintah bangsanya dan melihat apa yang baik dan apa yang tidak baik untuk mereka. Ia dianggap sebagai orang yang mengambil bagian dalam hikmat ilahi. Kemudian ada juga ahli-ahli Taurat adalah orang-orang bijak yang pertama, dan dengan dukungan ini mereka beruntung sehingga mempunyai kuasa. Ada juga orang-orang bijak yang hidup sesudah masa pembuangan yang merupakan ahli waris dari aliran ini. Sesudah belajar untuk merenungkan dan menulis, mereka menghasilkan hikmat yaitu hikmat manusiawi, tetapi pada saat yang sama mereka melihat hal ini sebagai pemberian dari Allah, satu-satunya Yang Bijaksana.
Berdasarkan beberapa pandangan tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa penulis kitab ini adalah orang-orang bijak yang hidup sesudah masa pembuangan di Babel tanpa diketahui namanya, karena mereka ingin mengambil refleksi yang telah terjadi di Israel. Selama mereka ada, mereka mencari arti hidup mereka, merenungkan persoalan-persoalan besar.
2.                  Waktu Penulisan
Baik para rabi dahulu maupun para ahli modern tidak sepakat mengenai penulisan kitab Ayub. Pada umumnya para ahli menganggap bagian-bagian puisi Kitab Ayub berasal dari waktu yang lebih kemudian. Kemiripan Kitab Ayub dengan Kitab Yeremia (bnd. Ayub 3:3-26 dengan Yeremia 20:14-18), dengan paroan akhir Kitab Yesaya (terutama nyanyian hamba Tuhan yang menderita Yesaya 52:13 – 53;12), dengan Mazmur 8 (bnd. Ayub 7:17,18 dengan Mzm 8:6,7), dan dengan Amsal 8 (bnd. Ayub 15:7,8 dengan Ams 8:22,25) semuanya menunjuk pada abad ke-7 sM atau sesudahnya.
                Beberapa sumber, seperti LaSor dan Blommendaal memiliki pendapatnya masing-masing. LaSor mengambil kesimpulan bahwa kitab Ayub diselesaikan antara tahun 700 dan 600 sM sedangkan Blommendaal mengambil kesimpulan bahwa kitab Ayub ditulis antara tahun 400-300 sM. Dari kedua pendapat tersebut dapat diambil suatu waktu antara tahun 600 dan 400 sM, karena Waktu penulisan dari kitab ini pada umumnya diterima adalah antara tahun tersebut. Tapi jika dikaitkan dengan penjelasan tentang siapa penulis yang diambil kesimpulan adalah orang bijak Israel sesudah masa pembuangan di Babel, maka kitab ini ditulis pada waktu Israel berada di bawah dominasi Persia, yaitu tahun 538 – 333 SM. Dari beberapa penjelasan tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa waktu penulisan kitab ini yang paling masuk akal ialah pada waktu Israel di bawah periode Persia antara tahun 538-333 SM, karena pada waktu itulah para penulis mengambil semua refleksi yang ada pada bangsa Israel dan sesudah masa persiapan yang panjang, disusunlah karya-karya besar seperti kitab Ayub ini.

3.                  Mengapa Ditulis
Dengan mononjolkan tokoh Ayub, penulis mau menyatakan bahwa kepercayaan orang Yehuda selama ini tidaklah selalu benar, sebab kenyataan dalam hidup sehari-hari ialah bahwa orang-orang benar yang selalu hidup menurut kehendak Allah, namun demikian mereka menderita.


4.                  Maksud Penulisan
Kitab Ayub berbicara tentang penyebab penderitaan manusia dan peran Tuhan dalam penderitaan ini. Ayub sebagai pemeran utama dalam cerita ini digambarkan sebagai orang yang saleh dan jujur. Ia percaya kepada Tuhan dan diberkati dengan anak yang banyak, kesehatan dan kekayaan. Namun, ketika Ayub kehilangan semuanya dan sangat menderita, kitab ini memusatkan perhatian terhadap pertanyaan: Mengapa seorang yang saleh dan setia seperti Ayub harus menderita? Tokoh-tokoh lainnya dalam cerita ini mencoba menjawab pertanyaan seperti itu. Apakah semua penderitaan disebabkan oleh dosa manusia? Apakah Tuhan meyebabkan manusia menderita? Mengapa? Kitab Ayub mengajak para pembaca menggumuli pertanyaan-pertanyaan klasik ini bersama tokoh yang ada di dalamnya. Akhirnya kesimpulan yang ada bahwa kuasa dan cara Tuhan yang penuh rahasia itu kadang-kadang berada di luar jangkauan pengertian manusia. Namun, kehadiran Tuhan pada waktu menderita dapat memberi kekuatan untuk melanjutkan hidup dan menghadapi masa depan. Ini juga menjadi pembelajaran bagi umat Israel pada waktu kembali dari pembuangan.

5.                  Tempat Penulisan
Kemungkinan besar kitab Ayub ditulis di Yerusalem, karena di situ merupakan pusat pencarian dan pengajaran hikmat, pertama-tama bagi umat Israel sendiri. Ini juga dapat diperjelas dengan nubuatan yang jelas dari Yesaya 33:6 “kekayaan yang menyelamatkan ialah hikmat dan pengetahuan; takut akan Tuhan, itulah harta benda Sion”.

6.                  Situasi
-        Spiritual
Sesudah kembali dari pembuangan bangsa Israel, Koresy memerintahkan untuk membangun kembali Bait Suci, lalu mengembalikan perlengkapan rumah Tuhan. Agaknya lahan tempat letak Bait Suci terdahulu dibersihkan dari segala reruntuhan, di situlah didirikan sebuah mezbah dan pembangunan dasar bangunan dimulai. Para imam mulai mengorganisasikan bangsanya. Mereka benar-benar menjadi pemimpin keagamaan. Walaupun mereka bebas beribadat sesuai dengan keinginan mereka, namun negeri mereka tetap berada di bawah penguasaan Persia.

-        Ekonomi
Sejak pulangnya bangsa Israel dari pembuangan di Babel, itu sama sekali bukan zaman kemakmuran dan kesejahteraan besar. Israel adalah daerah bawahan dari Persia, yang harus membayar upeti. Ekonominya jauh dari yang memuaskan. Perekonomian bangsa Israel bisa juga dilihat dari tersendatnya pembangunan kembali Bait Suci karena kekurangan dana.
-        Sosial
Setelah kembali dari pembuangan, bangsa Israel mulai membangun komunitasnya, tapi mengalami ketegangan dengan orang-orang Samaria yang melihat dengan penuh rasa curiga kepada bekas pemilik tanah yang datang kembali ke negerinya untuk menetap. Mereka ingin membantu dalam membangun Bait Allah tapi orang-orang Yahudi menolak tawaran tersebut sebab menganggap agama orang-orang Samaria tidak murni lagi.  Namun tidak semua bangsa Israel kembali ke tanah air mereka. Sebagian dari mereka tetap tinggal di daerah-daerah yang diperintah oleh Persia atau pindah ke kota-kota besar lainnya di Timur Laut Tengah. Banyak juga orang Yahudi yang tetap tinggal di Babel dan membentuk satu masyarakat di sana.
-        Budaya
Budaya juga dapat dilihat dari bahasa yang digunakan, yaitu bahasa Aram sebagai bahasa pengantar. Bahasa Aram yang dekat dengan bahasa Ibrani, adalah bahasa internasional di kerajaan Persia untuk dunia perdagangan dan diplomasi. Bahasa Aram juga diberlakukan sebagai bahasa pergaulan umum. Ini berpengaruh pada bangsa Israel karena di dominasi oleh kerajaan Persia.
-        Politik
Keadaan politik pada waktu mengharuskan bangsa Yehuda membayar upeti kepada bangsa Persia, karena mereka merupakan bagian daripara daerah kekuasaan Persia. Imam juga bukan saja menjadi pemimpin keagamaan, tetapi juga mereka menjadi pemimpin politik bangsa pada waktu itu.


LATAR BELAKANG NASKAH
Ayub pasal 32:1-22, Menurut pembagian Alkitab yang dibagi dalam 4 bagian (pasal 1-3, pasal 4-31, pasal 32-37, dan pasal 38-42), termasuk pada bagian yang keempat yaitu pasal 32-37 yang menjelaskan Elihu, kawan yang keempat, muncul dengan mengatakan bahwa selain Allah bisa memberi penderitaan, agar orang yang berdosa itu bertobat, maka Allah juga bisa memberi penderitaan kepada orang saleh untuk mencobai mereka.
Menurut David Atkinson, Kitab Ayub dibaginya dalam tiga bagian, yaitu: bagian pertama pasal 1-2 sebagai prolog;  bagian kedua, yaitu dari pasal 3:1-42:6, berarti termasuk pasal 32:1-22 yang strukturnya berbentuk sajak panjang, dan menceritakan bagaimana Ayub dan sahabat-sahabatnya berdebat untuk mengerti keadaan Ayub; dan pada akhirnya Ayub mengindahkan suara Allah; dan bagian ketiga yaitu pasal 42:7-14 sebagai epilog dalam bentuk prosa, mengakhiri cerita Ayub dengan makna khusus.
Dengan pendapat di atas, kelompok setuju dengan pendapat David Atkinson, bahwa kitab Ayub ini dibagi dalam 3 bagian dan pasal 32:1-22 termasuk pada bagian yang kedua, dengan melihat keterkaitan antara bagian pasal ini dengan pasal-pasal sebelumnya. Keterkaitannya dapat dilihat pada kata pertama dalam bagian ini yaitu maka ketiga orang itu....., menjelaskan keberhubungan cerita dalam pasal ini dengan pasal sebelumnya.
Percakapan antara Ayub dengan ketiga temannya (Elifas, Bildad dan Zofar) dalam pasal 4-31 dengan tuduhan-tuduhan mereka kepada Ayub karena kesengsaraannya itu yang kemudian di bantah Ayub dengan pembelaan dirinya, sampai pasal 31 menyebabkan ketiga temannya itu menghentikan sanggahan mereka.
Elihu yang juga adalah teman Ayub juga berada disitu ketika mereka sedang mengadakan percakapan. Sebelumnya Elihu tidak mengeluarkan pendapatnya tentang keadaan Ayub, tapi kemudian dalam bagian ini Elihu tampil dan turut serta dalam percakapan mereka. Elihu menunggu demi menghormati yang lebih tua (32:4).
Ada penafsir-penafsir yang menganggap pasal 32-37 ini adalah sebagai tambahan, yang ditambahkan kemudian setelah bagian terbesar peristiwa itu dituliskan. Cara pendekatan pasal 32-37 dikatakan berbeda dari bagian sebelumnya. Bahwa Elihu tidak disinggung pada awal percakapan , ia juga tidak disinggung dalam pasal 42, bagian terakhir drama ini. Tetapi pendapat ini banyak tidak disetujui oleh para penafsir lain.

TAFSIRAN
1.      Membaca secara Cermat Ayub pasal 32:1-22
2.      Kata-Kata Kunci
a.      Marah
b.      Sanggahan
c.       Usia
d.      Hikmat
Bagian ini tidak hanya menggunakan satu bentuk paralelismus, misalnya ayat 4 menggunakan Parelelismus Sintesis (baris kedua menguatkan baris pertama), dan ayat 9 menggunakan Parelelismus Sinonim (2 ungkapan yang sejajar).

3.      Pokok-Pokok Pikiran
a.      32:1                 : Elifas, Bildad dan Zofar menghentikan sanggahan mereka.
b.      32:2-5              : Elihu marah
c.       32:6-15            : Perkataan dengan hikmat dari Allah
d.      32:16-22          : Semangat yang mendesak Elihu untuk mengungkapkan sanggahannya.

ISI TAFSIRAN
  1. Pasal 32:1 : Elifas, Bildad dan Zofar menghentikan sanggahan mereka.
Maka ketiga orang itu menghentikan sanggahan mereka terhadap Ayub, karena ia menganggap dirinya benar (1). Kalimat Maka , merupakan kalimat yang menyatakan  hubungan dari pasal/ayat sebelumnya.  Ketiga teman Ayub yaitu Elifas, Bildad dan Zofar mereka  yang memberi pendapat tentang penderitaan yang dialami Ayub,menurut mereka Ayub melakukan dosa dan kesalahan, terlihat pada percakapan mereka dalam bagian sebelumnya (pasal 4-31), sehingga Ayub harus bertobat. Setelah Ayub memaparkan pembelaan dirinya untuk terakhir kalinya, ketiga sahabat itu menghentikan sanggahan mereka karena Ayub menganggap dirinya benar (dalam pasal 32).


  1. Pasal 32:2-5 : Elihu marah
Lalu marahlah Elihu bin Barakheel, orang Bus, dari kaum Ram; ia marah terhadap Ayub, karena ia menganggap dirinya lebih benar dari pada Allah dan ia juga marah terhadap ketiga orang sahabat  itu, karena mereka mempersalahkan Ayub, meskipun tidak dapat memberikan sanggahan (2,3).
Seorang penasihat baru, Elihu, diperkenalkan ke dalam narasi. Sebelumnya ia menahan diri untuk mengemukakan pendapatnya karena ia lebih muda dari yang lain (ayat Ayub 32:4). Akan tetapi, Elihu percaya bahwa dirinya memiliki wawasan mengenai penderitaan Ayub sehingga dapat menasihatkannya tentang sikap benar yang seharusnya diambil di hadapan Allah. Perkataan Elihu berbeda dengan perkataan tiga orang sebelumnya karena menekankan bahwa penderitaan dapat menjadi hukuman Allah yang penuh belas kasihan untuk memperbaiki jiwa (Ayub 33:30) dan menghasilkan hubungan yang lebih intim dengan Allah (ayat Ayub 32:36:7-10).
Elihu marah kepada Ayub dengan alasan bahwa Ayub menganggap dirinya lebih benar dari Allah. Alasan ungkapan tersebut dapat kita lihat pada pasal 33:8-12. Juga Elihu marah kepada ketiga orang sahabatnya itu dengan pandangan yang menurutnya salah. Meskipun dalam bagian ini kemarahan Elihu belum diungkapkannya kepada ke-empat temannya itu.
Elihu menangguhkan bicaranya dengan Ayub, karena mereka lebih tua dari pada dia (4). Dalam BIS, Elihu orang yang paling muda di antara mereka, sebab ia menunggu sampai semuanya selesai berbicara. Karena ia menghormati teman-temannya yang lebih tua itu maka ia membiarkan mereka mengemukakan pendapat terlebih-dahulu.
Tetapi setelah dilihatnya, bahwa mulut ketiga orang itu tidak memberi sanggahan, maka marahlah ia (5). Elihu melihat ketiga temannya berhenti memberikan sanggahan kepada Ayub setelah Ayub memberikan pembelaannya. Alasan juga kenapa Elihu marah yaitu karena menurutnya teman-temannya itu tidak dapat menghibur Ayub, malahan hanya menuduhnya.

  1. Pasal 32:6-15 : Perkataan dengan hikmat dari Allah
Lalu berbicaralah Elihu bin Barakheel, orang Bus itu: "Aku masih muda dan kamu sudah berumur tinggi; oleh sebab itu aku malu dan takut mengemukakan pendapatku kepadamu. Pikirku: Biarlah yang sudah lanjut usianya berbicara, dan yang sudah banyak jumlah tahunnya memaparkan hikmat (6,7).
Mulai ayat ini Elihu memberikan suaranya. Ia turut serta dalam percakapan tersebut, tetapi ia memulainya dengan kemarahan. Alasan dia menahan suaranya yaitu karena dia sadar bahwa disitu dialah yang paling mudah. Pikirnya teman-temannya yang lebih tua itu lebih berhikmat dari dirinya sehingga kata-kata mereka lebih bijak dari kata-katanya. Dengan pemikirannya seperti itu karenanya dia malu dan takut untuk mengemukakan pendapatnya. Juga menurut adat zamannya, sebagai orang muda ia harus menghormati yang lebih tua.
Tetapi roh yang di dalam manusia, dan nafas Yang Mahakuasa, itulah yang memberi kepadanya pengertian. Bukan orang yang lanjut umurnya yang mempunyai hikmat, bukan orang yang sudah tua yang mengerti keadilan (8,9). Selanjutnya bagi Elihu, ia mengetahui bahwa sumber hikmat-kebijaksanaan dan pengetahuan hanya berasal dari Allah dengan memberikan Roh-Nya kepada manusia. Dan hal itu diberikan Allah bukan hanya kepada orang yang lanjut umurnya, bukan hanya kepada orang yang sudah tua, tetapi dirinya juga yang mudah berhak untuk mendapat hikmat-kebijaksanaan dan pengetahuan.  Oleh sebab itu aku berkata: Dengarkanlah aku, akupun akan mengemukakan pendapatku (10). Ungkapan ini juga merupakan bentuk kemarahan Elihu, dan bahwa ia walaupun masih mudah berhak untuk memberikan pendapatnya atas penderitaan yang diderita Ayub.
Ketahuilah, aku telah menantikan kata-katamu, aku telah memperhatikan pemikiranmu, hingga kamu menemukan kata-kata yang tepat. Kepadamulah kupusatkan perhatianku, tetapi sesungguhnya, tiada seorangpun yang mengecam Ayub, tiada seorangpun di antara kamu menyanggah perkataannya (11,12).
Dengan sabar Elihu mendengarkan teman-temannya berbicara dan menanti teman-temannya mencari kata-kata yang bijaksana supaya dapat menilai perkara Ayub itu. Elihu memperhatikan mereka dengan seksama baik kata-kata ketiga temannya (Elifas, Bildad dan Zofar) maupun kata-kata dari Ayub. Pembelaan dari Ayub tidak dapat disanggah oleh Elifas, Bildad dan Zofar. Kesalahan dari Ayub tidak dapat mereka buktikan.
Jangan berkata sekarang: Kami sudah mendapatkan hikmat; hanya Allah yang dapat mengalahkan dia, bukan manusia (13). Ungkapan ini dikeluarkan Elihu sebab ia melihat perbincangan ini telah menjadi pengadilan bagi Ayub atau lebih tepatnya peperangan argumen antara Ayub dengan Elifas, Bildad dan Zofar. Dan Elihu, dapat dikatakan mengungkapkan ini untuk menyadarkan Elifas, Bildad dan Zofar yang sebelumnya menganggap diri mereka berhikmat, tapi kemudian tidak dapat menemukan kesalahan dari Ayub. Elihu menjelaskan hanya Allah saja sumber hikmat dan hanya Allah yang dapat menjawab penderitaan tersebut dan hanya Allah yang dapat mengalahkan Ayub.
Perkataannya tidak tertuju kepadaku, dan aku tidak akan menjawabnya dengan perkataanmu (14). Dalam BIS, Kepadamulah Ayub berbicara, dan bukan kepadaku, tetapi aku tak akan memberi jawaban seperti kamu. Dengan jelas dapat dilihat yang dimaksudkan Elihu bahwa sanggahan-sanggahan atau pembelaan dari Ayub itu adalah balasan dari tuduhan-tuduhan dari ketiga temannya kepada Ayub, dan apabila hal itu diberikan kepada Elihu, dia tidak akan mengeluarkan kata-kata yang seperti Elifas, Bildad dan Zofar ungkapkan. Karena mungkin menurut Elihu perkataan seperti itu tidak dapat menghibur hati Ayub ataupun membantu menemukan jawaban dari penderitaan Ayub, tapi malah hanya untuk menyudutkan Ayub dan mencari-cari kesalahannya.
Jawaban-jawaban dari Ayub tidak dapat dibalas tepat oleh Elifas, Bildad dan Zofar, malahan mereka terdiam dan bingung (lih.ayt 15), karena memang tak didapati mereka Ayub berbuat salah.

  1. Pasal 32:16-22 : Semangat yang mendesak Elihu untuk mengungkapkan sanggahannya.
Sekali lagi perdebatan itu dilihat dan diamati dengan seksama oleh Elihu. Elihu yang sebelumnya telah sabar melihat perlakuan mereka, akhirnya tak tahankan diri untuk mengungkapkan apa yang ada dalam dirinya dari apa yang diamat-amatinya itu. Dia tak dapat menunggu terus-menerus sampai akhirnya mereka habis kata, hal ini terlihat dalam ayat 17 dan 18, dengan jelas digambarkan Elihu dalam genggaman pengekangan dari apa yang dirasakannya, yang kemudian tak dapat ditahannya.
Sesungguhnya, batinku seperti anggur yang tidak mendapat jalan hawa, seperti kirbat baru yang akan meletup (19). Dibandingkan dengan BIS: Jika aku diam saja, akan pecahlah aku, seperti kantong yang penuh dengan anggur baru. Dengan sabar saja ternyata membuat batin Elihu terkekang sehingga ia mengandaikannya dengan kirbat yang akan pecah karena penuh untuk itu perlu untuk dikeluarkan. Kelegaan akan didapati Elihu jika ia dapat memeberitahukan pendapat atau sanggahannya. Mulutnya ingin mengeluarkan kata-katanya untuk mereka, tetapi kata-kata tersebut bukan untuk membela atau mendukung salah satu dari mereka (lih.ayt 21). Hal ini dapat berarti apa yang ada dalam pikiran Elihu berbeda dengan apa yang telah mereka ungkapkan. Dan Elihu yakin bahwa kebijaksanaan dari Allah telah diberikan kepada dia untuk memberi jawaban dari penderitaan Ayub tersebut.


POKOK-POKOK TEOLOGI:
-   Orang muda bukan berarti tidak dapat dipakai oleh Allah, dan usia muda tidak menjadi halangan bagi manusia untuk menjadi bijaksana. Dan orang tua bukan berarti telah penuh hikmat dan bijaksana.
-   Allah adalah sumber hikmat dan pengetahuan. Jadi hikmat-kebijaksanaan dan pengetahuan hanya akan didapatkan dari Dia.
-   Kesombongan, keangkuhan, dan menganggap diri berpengetahuan atau lebih dari orang lain pada akhirnya hanya akan mempermalukan diri sendiri.


LITERATUR
-   Alkitab Terjemahan Baru, Jakarta:LAI, 2008
-   Alkitab Bahasa Indonesia Sehari-hari
-   LaSor, W.S. Pengantar Perjanjian Lama 2 – Sastra dan Nubuat. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009
-   Groenen, C. Pengantar ke Dalam Perjanjian Lama. Yogyakarta: Kanisius, 1992
-                      Atkonson David, AYUB: Dalam Kasih Allah Rahasia Penderitaan, Tujuan, Dan Kekuatannya Ditemukan. Jakarta: YKBK, 2002
-   Tafsiran Alkitab Masa Kini II
-   http:www.bloger.co.id
-   http://alkitab.sabda.org/bible.php?book=Ayb

Teologi Feminis, Kekerasan terhadap perempuan



BAB I
I.                    Kasus Kekerasan Sekitar Kita (Kekerasan terhadap Istri)
Kekerasan dalam rumah tangga lebih khusus terhadap istri banyak terjadi dimana-mana. Hal suami yang dipandang sebagai kepala keluarga dan istri sebagai ibu rumahtangga yang menjadi pemahaman saat ini, membuat seorang laki-laki (suami) menganggap diri sebagai penguasa dalam keluarga, sehingga dia merasa apapun dapat dia lakukan dan semua yang ada dalam keluarganya harus tunduk kepadanya. Hal ini dapat dilihat dalam kasus berikut:
Berasal dari kehidupan suami-istri di Kecamatan Sonder. Seorang suami yang dianggap sebagai kepala keluarga dan memang dirinyalah yang bekerja untuk menafkahi keluarga tersebut. Ia memiliki 3 orang anak dan 1 istri. Karena Ia berpikir bahwa dia adalah raja dalam keluarga itu, semua anggota keluarganya diperintahkannya sesuka hati. Apabila istrinya tidak melakukan apa yang dia katakan atau apabila istrinya keluar rumah terlalu lama maka ia akan memarahi istrinya, kadang-kadang istrinya memberi pembelaan dan alasan tentang hal tersebut tetapi ia (suami) lebih menekannya. Sering apabila terdapat masalah dalam keluarga atau pertengkaran, ia memukul istrinya sampai luka-luka. Bukan hanya itu, selain tekanan fisik  ia juga sering tidak memberikan uang kepada istrinya, uang upahan dari hasil kerjanya hanya disimpannya untuk memenuhi kebutuhannya. Bapak ini bukanlah seorang pemabuk. Jadi memang perlakuannya dilakukan dengan keadaan yang sadar, beda halnya dengan orang lain yang jika melakukan kekerasan terhadap istrinya mereka banyak kali dalam keadaan mabuk. Kekerasan yang dilakukan suami ini bukan hanya kekerasan fisik tetapi juga kekerasan mental dan ekonomi. Tentang anak-anaknya, dia adalah seorang ayah yang mencintai anak-anaknya, dia tidak ingin melihat anak-anaknya itu menangis, apabila anak-anaknya itu menangis dan istrinya tidak bergegas membujuk anak itu supaya berhenti menangis maka istrinya itu akan dimarahi bahkan dapat sampai dipukulnya. Dapat dilihat suami ini memanjakan anak-anaknya, tetapi istrinya selalu ditekan olehnya.
Istri ini, kadang-kadang karena dia tidak mendapatkan uang dari suaminya, ia melakukan usaha untuk mendapatkan uang. Ia membuat kue-kue untuk di jualnya. Dari hasil penjualannya itu dia sedikit dapat memenuhi kebutuhannya dan hal-hal lain dalam kebutuhan keluarga yang tidak dipikirkan oleh suaminya.
II.                  Kasus Kekerasan Dalam Alkitab
Banyak juga kasus kekerasan terhadap perempuan yang dimuat dalam Alkitab salah satu contoh kasus kekerasan dalam Alkitab yang saya ambil yaitu dari kitab Ulangan 21:10-14.
Dalam bagian Alkitab ini memang tidak ada di jelaskan tentang kekerasan fisik terhadap perempuan, tetapi yang saya lihat disitu terjadi kekerasan mental dan perlakuan sesuka hati terhadap perempuan. Pada bagian Alkitab ini menyebutkan dari  budak-budak perempuan yang dimiliki oleh bangsa Israel, salah satunya dapat diambil sebagai istri. Memang yang di intikan disini adalah mengenai pembebasan budak, tetapi yang saya lihat disini yaitu perlakuan yang senonoh atau semaunya terhadap perempuan. Apalagi pada ayat yang ke-14 (Apabila engkau tidak suka lagi kepadanya, maka haruslah engkau membiarkan dia pergi sesuka hatinya) yang seakan-akan menunjukan perempuan itu dipakai sesuai keinginan laki-laki, apabila laki-laki (suami) tidak menyukainya lagi, ia dapat membiarkan perempuan itu pergi.
Ada 2 hal yang dilihat disini sebagai kekerasan: pertama, perempuan yang digunakan sebagai budak; dan yang kedua, perempuan yang setelah dijadikan istri apabila sudah tidak disukainya lagi, dibiarkan saja. 2 hal ini mungkin saat itu telah menjadi suatu kebudayaan dalam bangsa Israel, sehingga hal seperti ini menjadi sesuatu yang biasa-biasa saja dalam konteks waktu saat itu.




BAB II
Pandangan Teologi Feminis
Secara teologis, perempuan dan laki-laki diciptakan semartabat, sebagai manusia yang se-"citra" dengan Allah. Namun, tidak bisa dipungkiri, dalam realitas sosial-kultural-agama, antara keduanya sering terjadi ketidakadilan yang melahirkan kekerasan, terutama terhadap perempuan. Isu perbedaan jender yang menguasai realitas sosial kultural adalah bukti. Bahkan, pembedaan telah merugikan perempuan atas kondisi dan posisinya, baik di kehidupan sosial, politik, ekonomi, dan budaya.
Di masyarakat, kita kerap menyaksikan kekerasan terhadap perempuan dengan berbagai manifestasinya. Kekerasan fisik, emosional, psikologi, entah secara domestik (dalam rumah) maupun publik (dilakukan oleh masyarakat, agama, media massa, kekuatan ekonomi, politik, dan negara) kerap menjadi tontonan gratis yang membuat hati ini teriris sedih dan perih.
Menimbang kaitan antara perempuan dan agama, akhir-akhir ini kita melihat perubahan paradigma. Paradigma lama cenderung mengidentisir agama sebagai salah satu sumber kekerasan terhadap perempuan. Agama dituduh sebagai biang keladi lahirnya kekerasan, penindasan, dan ketidakadilan terhadap perempuan. Kaum agamawan dinilai telah menyalahtafsirkan doktrin, ajaran, bahkan teks-teks kitab suci yang meminggirkan peran perempuan dalam agama. Mengapa perempuan (Katolik dan Islam) tidak dapat menjadi imam adalah pertanyaan dasar yang sering menggema. Dalam perspektif biblis kerap ditengarai, perempuan diletakkan dalam posisi subordinasi terhadap suami, sehingga Paulus menasihati, "Hai istri, tunduklah kepada suamimu seperti kepada Tuhan, karena suami adalah kepala istri..." (Efesus 5:22). Tetapi juga Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Korintus, ia mempertahankan ajaran Yesus bahwa dalam pernikahan suami dan istri merupakan mitra sejajar dengan hak dan kewajiban yang sama (Markus 10:1-12). Istri tidak berkuasa atas tubuhnya sendiri, tetapi suaminya, demikian pula suami tidak berkuasa atas tubuhnya sendiri, tetapi istrinya (I Korintus 7:4).
Pandangan teologis Abrahamic religions memiliki kisah tentang Hawa (perempuan) yang "dituduh" sebagai sumber "dosa asal" karena terbujuk iblis dengan memetik dan makan buah terlarang, danmemberikannya kepada Adam. Sementara kalangan menganggap kisah ini sebagai peminggiran perempuan. Bahkan, sementara pihak menafsirkan bahwa tradisi Kristiani telah mengembangkan kebencian dan kecurigaan pada wanita dalam "doktrin dosa asal"-nya.
Yang sebanarnya yang menjadi pemikiran kita yaitu manusia (laki-laki juga perempuan) yang telah diciptakan Allah saat dunia dibuat (Kejadian 1:1-2:4a), keduanya adalah ciptaan yang sama, Allah merancangkan model manusia menurut gambar dan rupa-Nya sendiri (Kejadian 1:26). Perbedaan laki-laki dan perempuan dalam jender seharusnya dapat memberikan penghayatan bagi manusia terhadap persekutuan yang dinamis menurut gambar Allah. Tujuan Allah menciptakan perempuan dalam “Kejadian 2” bukan dengan maksud agar perempuan sebagai penolong laki-laki atau sebagai pelengkap tetapi agar manusia (laki-laki) tidak hidup seorang diri, tapi hidup dalam hubungan yang sederajat dengan sesamanya (perempuan) yang berbeda dengan Allah dan juga berbeda dengan makhluk-makhluk yang dinamai mereka.
Secara khusus, teologi feminis menanggapi masalah kemiskinan dalam kaitannya dengan ketimpangan jender, diskriminasi dan penindasan terhadap perempuan. Arus dasar yang diperjuangkan adalah membela perempuan yang ditindas, membongkar patriarki dalam masyarakat, agama, dan keluarga dengan segala ketidakadilan yang menyertainya. Pada titik inilah agama memperjuangkan martabat perempuan dalam mengalami kekerasan dan ketertindasan bersama para teolog feminis. Dalam konteks inilah perubahan paradigma terjadi. Sebelumnya, perempuan menjadi "obyek" teologi. Kini, banyak perempuan menjadi "subyek" teologi.
Allah menciptakan langit dan bumi serta isinya adalah suatu peristiwa yang sangat spektakuler dalam kehidupan di dunia ini. Segala sesuatu yang diciptakan oleh Allah adalah bagian-bagian yang tak dapat dinilai dengan apapun. Allah menciptakan segala sesuatu dengan cara yang sempurna dan hasil yang sempurna, khususnya jika kita berbicara mengenai manusia.
Manusia adalah ciptaan Tuhan yang paling mulia dibandingkan dengan ciptaan-ciptaan Allah yang lainnya. Allah menciptakan manusia menurut gambar dan rupa Allah dan berkuasa atas ciptaan yang lainnya serta dipercayakan untuk memelihara bumi. Manusia diciptakan Allah dengan suatu keiistimewaan dari ciptaan-ciptaan yang lainnya, yaitu manusia memiliki pikiran dan akal budi.
Manusia ditempatkan di taman Eden untuk mengusahakan dan memelihara taman itu, tentunya disertai dengan perintah-perintah yang Dia tetapkan kepada manusia. Namun, manusia mengkhianati kepercayaan yang diberikan Allah kepada mereka dan jatuh ke dalam dosa.
Tuhan tidak pernah mengatakan, bahwa laki-laki lebih penting dari perempuan atau pun sebaliknya perempuan lebih penting dari laki-laki, karena di hadapan Tuhan, laki-laki dan perempuan adalah sama, yaitu ciptaan-Nya. Namun, sejak zaman dahulu, telah berkembang pola pikir yang disesuaikan dengan budaya patriakhat, yaitu laki-laki yang menjadi tolak ukur dan dianggap lebih tinggi derajatnya daripada perempuan. Berdasarkan budaya tersebut, sering terjadi kekerasan-kekerasan terhadap perempuan yang sangat merugikan. Perempuan yang banyak di jumpai dalam cerita-cerita di Perjanjian Lama yang dipakai sebagai budak dan juga perempuan-perempuan yang menerima perlakuan yang semaunya dari laki-laki, menjadi budaya yang tidak salah pada waktu itu.
Zaman sekarang ini, ternyata belum lepas dari cara pandang seperti itu, sehingga terjadi kekerasan terhadap perempuan. Salah satu kasus kekerasan yang terjadi pada perempuan adalah kekerasan terhadap istri, baik itu kekerasan fisik, kekerasan mental dan juga kekerasan ekonomi. Pada bagian sebelumnya telah di uraikan contoh kasus kekerasan terhadap istri yang terjadi di Sonder.



BAB III
Harapan Dan Saran
Kasus kekerasan terhadap perempuan sudah begitu lama terpelihara dan membudaya dalam kehidupan manusia. Penyelewengan terhadap hak-hak perempuan selalu terjadi, deskriminasi-deskriminasi dari kaum laki-laki merajarela.  Karena itu teologi feminis hadir untuk membawa paradigma baru tentang perempuan dan bagaimana pandangan Alkitab tentang perempuan.
Dengan adanya teologi feminis ini diharapkan dapat mengubah cara berpikir manusia tentang perempuan, lebih khusus pandangan perempuan tentang dirinya dan pandangan laki-laki tentang perempuan yang didasarkan dari pandangan Alkitab tentang perempuan. Teologi Feminis dapat dipandang sebagai usaha kontrabudaya, budaya patriaki yang menganggap laki-laki adalah lebih tinggi dari perempuan. Dan perempuan dikuasai oleh laki-laki.
Saran saya dengan peristiwa yang terjadi (mengacu pada contoh kasus diatas) adalah: tentunya sepasang suami dan istri di satukan oleh Tuhan untuk menjalani kehidupan bersama di dunia, maka haruslah kita saling memperhatikan kebutuhan satu sama lain dan saling melengkapi antara suami dan istri. Perbedaan pendapat memang kadang kita jumpai, tetapi alangkah baiknya jika dihadapi secara bersama-sama. Dan status laki-laki sebagai kepala keluarga dan perempuan sebagai ibu rumah tangga membedakan tugas dan hak masing-masing dalam keluarga, jadi bukankah lebih baik jika pemikiran seperti itu dihilangkan dan menganggap suami dan istri sama-sama sebagai kepala keluarga dan ibu rumahtangga. Karena suami dan istri adalah satu kesatuan yang tidak boleh dipisahkan (Mrk 10:6-8) dengan maksud dan tugas yang sama dari Allah kepada mereka (Kejadian 1-2), tapi suami tidak seharusnya menguasai istri dengan berkuasa atasnya (I Korintus 7:4), juga sebaliknya.
Istri bukanlah seorang yang dapat digunakan suami sebagai alat pelengkap dan pemenuhan kebutuhan, jika tidak disukai lagi dapat dibiarkan saja, seperti pada bagian Alkitab yang diangkat sebagai contoh kasus di makalah ini. Memiliki Istri adalah salah satu anugerah  yang diberikan kepada seorang laki-laki untuk disyukuri dan dijaga, dan bersama-sama dengan dia kita memperjuangkan kehidupan.
Untuk mengubah cara berpikir yang sudah sejak lama terbentuk memang sangat sulit, tetapi haruslah kita melakukannya. Salah satu contoh upaya kita adalah lewat khotbah, dengan memberikan pengertian yang jelas ketika kita membawakan khotbah dalam ibadah-ibadah yang membahas tentang derajat manusia antara laki-laki dan perempuan adalah sama, juga dipercayakan Tuhan dengan tugas yang sama pula maka hal itu mungkin dapat mengubah cara berpikir dari jemaat sekarang ini. Contoh yang lain juga adalah dengan membuat penyuluhan tentang perempuan, dengan membahas perempuan sebagai topiknya dan memberikan pimikiran-pemikiran yang jelas kepada jemaat mungkin hal ini akan berhasil, dalam penyuluhan ini sangat baik jika seluruh anggota jemaat dapat mengikutinya. Selain contoh tersebut, menjadi salah satu upaya juga yaitu dalam katekisasi-katekisasi, baik itu katekisasi sidi jemaat, katekisasi baptisan, apa terlebih dalam katekisasi pernikahan Pendeta sekiranya membawa pengajaran tentang perempuan dan kedudukannya sebagai ciptaan Allah yang sama dan sederajat dengan laki-laki. Contoh yang terakhir yaitu lewat diri kita masing-masing, ketika kita memperlakukan perempuan atau kita sebagai perempuan berlaku dan membawa pola pikir yang baru tentang perempuan yang adalah ciptaan yang sama dengan laki-laki dan juga mempunyai kemampuan dan tugas yang sama juga dengan laki-laki, maka pola pikir yang lama atau yang telah membudaya dapat kita ubah bersama-sama.
Dan yang menjadi harapan saya: alangkah indahnya dunia kita, jika perempuan yang merupakan mayoritas makhluk Tuhan saat ini menjadi pelopor antikekerasan di tengah kehidupan dengan hati, kerahiman, dan kasih sayang mereka.






Literatur:
-          Marie C, Barth. Hati Allah Bagaikan Hati Seorang Ibu. BPK Gunung Mulia. Jakarta: 2006.
-          http: www.kompas.com